Benarkah Muhammadiyah “Kenyang” di era Orde Baru?

0
525

CIREBONMU.COM, YOGYAKARTA—Haedar Nashir meluruskan anggapan yang dilontarkan beberapa pihak terkait Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang paling diuntungkan di masa Orde Baru. Padahal, Muhammadiyah tidak terbiasa dengan politik konspirasi, membangun lobi dengan tukar tambah kekuasaan atau melakukan manuver politik untuk memperebutkan kursi jabatan.

“Muhammadiyah tidak biasa politik konspirasi. Tapi politik yang biasa-biasa saja, politik yang jujur, tegas, argumentatif, dan tidak berorientasi pada kekuasaan. Maka kalau kemudian di era Orde Baru sekalipun, itu lahir tokoh-tokoh Muhammadiyah yang masuk ke kabinet, hal tersebut tidak minta dan tidak merupakan hasil rembugan dengan PP Muhammadiyah,” tutur Haedar Nashir dalam acara yang diselenggarakan Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah pada Rabu (10/11).

Haedar menerangkan bahwa saat rezim Orde Baru berkuasa, mereka melakukan marginalisasi politik Islam, yaitu dengan mengeluarkan kebijakan deideologisasi. Dalam kebijakan ini, partai-partai politik tidak diperbolehkan menggunakan asas lain selain asas Pancasila. Karenanya, tidak masuk akal bila Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkuasa di kabinet rezim Orde Baru yang sangat meminggirkan Islam politik dalam percaturan nasional.

“Ada pendapat di era Orde Baru Muhammadiyah menguasai birokrasi dan sudah saatnya yang lain. Sebenarnya tidak, kalau soal peminggiran politik terhadap kekuatan Islam, kan, dua pertiga dari perjalanan Orde Baru itu, kan, ada proses marjinalisasi politik Islam, karena ada asas tunggal Pancasila,” ujar Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.

Haedar mengakui bahwa kader-kader Muhammadiyah sempat menduduki jabatan Menteri Agama seperti Abdul Mukti Ali (Kabinet Pembangunan I, 1971-1973, Kabinet Pembangunan II, 1973-1978), Munawir Sjadzali (Kabinet Pembangunan IV, 1983-1988, Kabinet Pembangunan V 1988-1993), dan Tarmidzi Taher (Kabinet Pembangunan VI, 1993-1998). Akan tetapi ketiganya diangkat murni berdasarkan kalkulasi ideologis karena dianggap sesuai dengan cara kerja rezim Orde Baru dengan visi developmentalismenya.

 “Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Tarmidzi Taher, mereka memang murni kader Muhammadiyah tapi mereka juga sekolah ke Barat, ada yang ke tentara, kemudian mereka menjadi teknokrat. Karena menjadi teknokrat, sehingga wajar Pak Harto memilih mereka. Visi developmentalisme itu paham tentang membangun, dan kalau membangun kelompok teknokratis yang kepilih,” kata pria kelahiran Bandung, Jawa Barat, 25 Februari 1958 ini.

Dengan begitu, adanya tokoh-tokoh Muhammadiyah di kabinet pembangunan Orde Baru lantaran visi developmentalisme ala Orde Baru dengan alam pikiran Islam Berkemajuan ala Muhammadiyah menemui titik temu. Karenanya, kata Haedar, kader-kader Muhammadiyah yang masuk dalam kabinet pada Orde Baru bukan berdasarkan politik konspiratif melainkan penilaian yang objektif.

“Jadi, anak-anak Muhammadiyah perlu paham sejarah seperti ini bahwa kehadiran Muhammadiyah yang melahirkan generasi muslim terpelajar yang bisa hidup di tengah perubahan zaman itu karena mampu memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan, kemudian dilengkapi dengan profesionalitas,” tegas Haedar.

Selain itu, mengutip tulisan Ma’mun Murod Al-Barbasy, nama Ketua PP Muhammadiyah yang relatif lama bersentuhan dengan kekuasaan Orde Baru hanya KH AR Fahruddin dan Prof KH Ahmad Azhar Basyir. Selama Orde Baru berkuasa, justru Muhammadiyah dipimpin oleh orang-orang yang sangat sederhana, wara’, zuhud, dan sangat jauh dari kesan cinta dunia. Kalau Muhammadiyah dituduh “kenyang” di era Orde Baru, tentu setidaknya tergambar dari tampilan para ketuanya. (CM, sumber : MUHAMMADIYAH.OR.ID)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini