Penjelasan Tentang Hilal di Bawah Ufuk dalam Kalender Islam Global

0
65
Ilustrasi: muhammadiyah.or.id

CIREBONMU.COM  —  Muktamar Penyatuan Kalender Hijriah Internasional di Turki tahun 1437 H/2016 M telah menghasilkan sebuah keputusan yang monumental bagi umat Islam di seluruh dunia. Dalam pertemuan tersebut, diputuskan dan ditetapkanlah sebuah kalender hijriah global yang mengusung prinsip satu hari satu tanggal di seluruh penjuru dunia. Keputusan yang diambil oleh Turki ini kemudian diadopsi oleh Muhammadiyah dengan nama Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT).

Salah satu prinsip yang menjadi landasan utama dari KHGT adalah prinsip matlak global (ittihad al-mathali’). Prinsip ini menekankan pada keterlihatan atau kemungkinan keterlihatan hilal di satu tempat (negara) yang kemudian diterapkan atau ditransfer ke seluruh dunia. Legitimasi dari pemberlakuan kebijakan ini didasarkan pada konsepsi matlak global yang telah lama dipercayai dan dijelaskan oleh para fukaha. Konsepsi tersebut diambil dari penafsiran atas hadis-hadis Nabi Saw terkait dengan rukyat yang dipahami bersifat umum (lafaz ‘am), yang berlaku dalam konteks umum dan mencakup semua orang.

Beberapa hadis Nabi Saw yang menjadi rujukan dalam hal ini adalah, “Puasalah kalian karena melihat hilal, dan berhari rayalah karena melihat hilal” (HR. Al-Bukhari), serta “Apabila kamu melihat hilal maka berpuasa, dan apabila kamu melihatnya maka berhari-raya lah” (HR. Al-Bukhari).

Baca Juga : Muhammadiyah Sumatera Utara Berkomitmen, Muktamar ke-49 Jadi yang Terbaik

Dengan merujuk pada ajaran-ajaran Nabi Saw ini, KHGT mengemban misi untuk menyatukan umat Islam di seluruh dunia dalam penetapan awal bulan Hijriah secara bersama-sama, mengakhiri perbedaan-perbedaan yang selama ini menjadi polemik di antara umat Islam di berbagai belahan dunia.

Hilal di Bawah Ufuk

Konsepsi KHGT di atas telah memunculkan pertanyaan krusial terkait posisi hilal yang masih berada di bawah ufuk namun tetap dinyatakan sebagai awal bulan. Hal ini menimbulkan perdebatan seputar aspek syariat dan sains yang harus dijelaskan secara tuntas.

Pakar Falak Muhammadiyah Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar mengatakan bahwa dalam literatur fikih klasik yang membahas tentang matlak global atau penentuan awal bulan secara umum, belum terdapat penjabaran yang eksplisit mengenai fenomena ini, terutama dari perspektif saintifik. Oleh karena itu, urgensinya untuk menjelaskan masalah ini menjadi semakin nyata, mengingat seringkali hal ini menjadi sorotan terutama bagi kalangan yang masih memegang teguh rukyat lokal dan mengutamakan ketampakan fisik hilal.

Menurut Arwin, secara singkat, argumen tentang hilal di bawah ufuk dapat diuraikan melalui tiga poin berikut. Pertama, fase-fase bulan, termasuk fase hilal atau bulan sabit, sebenarnya merupakan fenomena global, sementara ketampakan hilal merupakan fenomena lokal. Kedua, konjungsi bulan, yang merupakan titik awal dalam perhitungan kalender, menandai saat di mana hilal telah ada secara esensi meskipun belum terlihat secara jelas di langit. Ketiga, perubahan fase bulan berkaitan erat dengan perubahan elongasi (jarak sudut bulan-matahari), yang menjelaskan bahwa posisi bulan di bawah ufuk sebenarnya tidak mengurangi keberadaannya sebagai hilal definitif.

Baca Juga : Antropolog Robert Hefner, Muhammadiyah Aset Moral Bagi Bangsa Indonesia

Firman Allah dalam QS. Yasin (36) ayat 39 menggambarkan bahwa bulan mencapai fase terakhirnya saat konjungsi, yang menegaskan bahwa hilal telah ada bahkan jika belum terlihat. QS. Yasin (36) ayat 40 juga menjelaskan bahwa matahari tidak dapat mengejar bulan, yang menggarisbawahi perbedaan kecepatan sudut antara keduanya.

Dalam prakteknya, posisi hilal secara fisis selalu lebih tinggi di kawasan barat dibandingkan timur karena rotasi bumi dan perubahan elongasi. Hal ini telah diakui oleh para fukaha, yang menyatakan bahwa jika hilal terlihat di satu tempat, maka hal tersebut berlaku bagi seluruh umat Islam.

Penjelasan ini menawarkan pandangan baru tentang definisi hilal yang mendasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dan syariat. Penolakan atau permasalahan terhadap penafsiran seperti ini dapat menghambat kemajuan menuju sistem penjadwalan waktu dunia Islam yang lebih unifikatif dan kredibel. Oleh karena itu, penerimaan terhadap penafsiran baru ini menjadi kunci terwujudnya sistem kalender Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Dari tiga argumen yang telah diuraikan, menurut Arwin, beberapa hal penting dapat disimpulkan. Pertama, praktik KHGT menegaskan pentingnya mengadopsi prinsip matlak global, yang merupakan pandangan dominan di kalangan fukaha. Penolakan terhadap konsep matlak global sama dengan menolak keberadaan kalender global secara keseluruhan.

Baca Juga : Muhammadiyah Perlu Perkuat Dakwah Kultural Muhammadiyah Dengan Tiga Langkah

Kedua, dalam implementasinya, praktik matlak global mengacu pada kemungkinan hilal terlihat atau memungkinkan terlihat di satu tempat di muka bumi dan kemudian diberlakukan secara global. Hal ini kadang-kadang mengakibatkan posisi hilal masih berada di bawah ufuk di sejumlah wilayah, yang disebut sebagai hilal negatif. Penjelasan saintifik mengenai fenomena ini menjelaskan bahwa meskipun tidak terlihat, hilal telah ada setelah konjungsi, yang menandakan satu putaran bulan selesai dan menjadi standar pergantian bulan.

Ketiga, pemahaman dan penafsiran hilal negatif seperti ini merupakan sebuah keharusan dan juga merupakan pandangan baru yang memandang Kalender Islam sebagai tuntutan peradaban yang belum terpenuhi di dunia Islam modern. Meskipun memiliki kekurangan, pendekatan ini merupakan alternatif yang logis dan realistis untuk diimplementasikan, namun tetap terbuka untuk pengujian dan validasi lebih lanjut oleh para ahli dan peneliti.

Keempat, dari perspektif ini, terjadi pergeseran dalam makna dan definisi hilal, dari pemahaman lokal-fisik menjadi global-eksistensial. Pemahaman ini berdasarkan interpretasi hadis-hadis Nabi Saw tentang rukyat yang dipahami dalam konsep global (matlak global), yang kemudian dijelaskan secara saintifik oleh ilmuwan Muslim di era modern, menjadi argumen kuat yang mendukung KHGT.

Dengan demikian, pemahaman baru ini tidak hanya memberikan landasan yang lebih kokoh bagi KHGT, tetapi juga menegaskan urgensi untuk terus mengkaji, bahkan mengkritisi secara konstruktif rumusan-rumusan dalam kalender tersebut guna memastikan kesesuaian dan kevalidan secara lebih mendalam.

Sumber : MUHAMMADIYAH.OR.ID

Referensi: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, “Hilal di Bawah Ufuk dalam KHGT”, dalam OIF UMSU, https://oif.umsu.ac.id/2024/03/hilal-di-bawah-ufuk-dalam-khgt/, diakses pada Sabtu, 30 Maret 2024.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini