Siti Munjiyah

0
555
“Sungguh, belumlah sampai waktunya kita bersenang-senang, mendiamkan diri, enak-enak, dan merenung!” (Siti Munjiyah)

CIREBON, CM.-Rintisan Nyai Ahmad Dahlan dan suaminya pada tahun 1913, yaitu setahun pasca berdiri Muhammadiyah, telah membuahkan hasil. Gadis-gadis di Kauman yang mereka sekolahkan telah tumbuh dewasa. Mereka menguasai baik ilmu pengetahuan agama serta umum.

Salah satu santri wanita berhasil menjadi tokoh berkepribadian sederhana dan berjiwa srikandi. Dia telah ditunjuk mewakili HB Muhammadiyah Bahagian Aisyiyah dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama di Yogyakarta tahun 1928. Wanita muda itu menjadi wakil ketua panitia, bersanding dengan R.A. Sukonto, ketua panitia kongres. Ia mendapat kesempatan berpidato perihal pandangannya seputar kedudukan wanita dalam Islam. Dialah Siti Munjiyah.

Perempuan aktivis Aisyiyah ini berperawakan gemuk. Postur tubuhnya agak tinggi. Kemauannya keras dan cara berpikirnya cukup logis. Sekalipun dia salah satu putri Lurah Hasyim Ismail, dia tak suka mengenakan perhiasan mewah. Pembawaannya selalu sederhana, tetapi tampak supel.

Siti Munjiyah binti Haji Hasyim Ismail lahir di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1896 M. Dalam catatan Haji Hasyim Ismail, ayah kandungnya, dijelaskan bahwa tahun kelahiran Siti Munjiyah: “Tatkala dhahiripun Munjiyah amarengi ing dinten Isnain Legi kaping 14 wulan Dzulhijjah tahun Jim awal 1317 (Ketika lahir Munjiyah bersamaan dengan hari Senin Legi tanggal 14 bulan Dzulhijjah tahun Jim awal 1317). Sumber ini berasal dari catatan pribadi ayah kandungnya sendiri, yaitu Haji Hasyim Ismail, Lurah Kraton Yogyakarta yang juga tetangga KH Ahmad Dahlan.

Siti Munjiyah dengan Jasimah, Syuja’, Fachrodin, Hadikusuma, Zaini, Siti Bariyah, dan Siti Walidah. Anak-anak keturunan Haji Hasyim Ismail inilah yang dikenal dengan sebutan “Bani Hasyim.” Mereka adalah penggerak Muhammadiyah sejak pertama kali didirikan. Jika adiknya, Siti Bariyah, masuk sekolah umum (Neutraal Meisjes School), maka Siti Munjiyah masuk sekolah agama bersama Siti Umniyah, putri K.H. Sangidu. Walaupun lebih tua dari sang adik, justru Siti Bariyah yang terpilih sebagai ketua pertama Hoofdbestuur Muhammadiyah Bahagian Aisyiyah. Hal itu terjadi karena penyesuaian dengan apa yang sedang zaman butuhkan. Di antara murid-murid wanita yang paling menonjol dalam bidang organisasi dan kepemimpinan adalah Siti Bariyah. Akan tetapi, setelah pondasi organisasi Aisyiyah terbentuk, Siti Munjiyah dipercaya sebagai ketua pasca kepemimpinan Nyai Ahmad Dahlan.

Siti Munjiyah memiliki kepiawaian dalam berpidato. Bakatnya dalam berpidato mengingatkan kita pada sosok Haji Fachrodin, kakak kandung Siti Munjiyah. Dengan bakat ini, Munjiyah tampil sebagai perwakilan Aisyiyah dalam forum-forum perkumpulan wanita lain. Ia belajar agama Islam lewat kursus dan pengajian yang digelar K.H. Ahmad Dahlan dan istrinya. Santri-santri wanita ditempatkan di sebuah asrama yang diasuh secara langsung oleh Nyai Ahmad Dahlan untuk ditempa menjadi calon-calon pemimpin.

Pada tahun 1918, Muhammadiyah telah melebarkan sayap ke luar kampung Kauman lewat jalur pengajian di daerah-daerah. Menyadari Muhammadiyah kekurangan tenaga, maka K.H. Ahmad Dahlan mengumpulkan sepuluh orang pemuda dan pemudi yang sebagai calon-calon muballighin dan muballighat Muhammadiyah, Siti Munjiyah masuk didalamnya. Ia mengikuti kelas Qismul Arqa. Pada tahun 1920, K.H. Ahmad Dahlan dibantu para dermawan di Kauman mendirikan sebuah asrama untuk menampung murid-murid Qismul Arqa. Gedung baru disiapkan depan rumah Haji Syuja’. Setelah menempati gedung baru, kelas Qismul Arqa mulai diklasifikasikan secara berjenjang dari kelas satu sampai kelas tiga. Setelah itu, sekolah ini tidak lagi menggunakan nama Qismul Arqa, namun diganti dengan Pondok Muhammadiyah dan diberikan kurikulum umum.

Pondok Muhammadiyah kemudian menjadi Kweekschool Islam, lalu diganti Kweekschool Muhammadiyah. Setelah keluar Ordonasi Sekolah Liar, nama Kweekschool Muhammadiyah diganti menjadi Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah. Pada tahun 1929, murid-murid putri dipisahkan di gedung tersendiri yang kemudian dikenal dengan nama Madrasah Mu’allimat yang menjadi sekolah Siti Munjiyah.

Siti Munjiyah termasuk santri wanita yang mendapat kepercayaan untuk mengikuti K.H. Ahmad Dahlan menghadiri undangan-undangan tabligh. Kepercayaan tersebut bukannya tanpa dasar sama sekali. Sebab, Siti Munjiyah memiliki karakter tegas juga kemauan yang kuat. Karakternya terbukti pada 20 November 1921, ketika Hoofdbestuur Muhammadiyah mendapat undangan dari Sarekat Islam (SI) cabang Kediri (Jawa Timur). K.H. Ahmad Dahlan didampingi Haji Fachrodin dan Siti Munjiyah memenuhi undangan tersebut. Siti Munjiyah mendapat kesempatan untuk menyampaikan ceramah keagamaan. Dengan pembawaan yang tenang, dia menerangkan akan dirinya yang mengenakai pakaian tertutup rapat dengan kerudung khas songket Kauman. Dijabarkan dirinya tidak malu berpakaian layaknya orang haji sebab itu merupakan perintah agama Islam.

Tak hanya itu, ia juga menerangkan kedudukan kaum perempuan dalam agama Islam. Bukan hanya kaum lelaki yang wajib memajukan agama Islam, tetapi kaum perempuan juga memiliki hak yang sama untuk memajukan agama Islam. Pidatonya mampu menyihir para hadirin. Munjiyah telah mengawali sebuah gerakan baru bahwa kaum perempuan memiliki kedudukan setara dengan kaum lelaki dalam memajukan agama Islam.

Siti Munjiyah memang kader santri putri yang paling militan di Aisyiyah. Selama beberapa periode, Siti Munjiyah menjabat sebagai ketua (voorzitter) Bahagian Aisyiyah. Sejak Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar (1932), pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim, Siti Munjiyah dipercaya sebagai voorzitter (ketua). Selaku secretaris (juru tulis) dipercayakan kepada Siti Zarkiyah. Selaku penningmeester (bendahari) dipercayakan kepada Siti Wakirah. Kemudian, pada empat kongres berikutnya (1933-1936), dia kembali dipercaya menjabat sebagai ketua Aisyiyah.

Nama Siti Munjiyah tidak hanya terkenal di kalangan aktivis Aisyiyah namun hingga taraf nasional. Sebab, dia pernah menjadi wakil ketua Kongres Perempuan pertama (1928) di Yogyakarta. Siti Munjiyah juga seorang ulama perempuan yang sangat inklusif dan toleran. Dalam menyampaikan pidato, Munjiyah hampir tidak pernah menyinggung agama lain. Namanya memang cukup dikenal di kalangan organisasi wanita lain, seperti Wanito Taman Siswo, Wanito Utomo, Jong Java, dan sebagainya. Siti Munjiyah menikah dengan K.H. Ghozali, warga Kauman. Akan tetapi, tampaknya pernikahan Siti Munjiyah dengan K.H. Ghozali tidak harmonis. Rumah tangga yang dibangunnya tidak langgeng. Setelah bercerai dari suaminya, Siti Munjiyah tidak menikah lagi, ia mengadopsi anak-anak Siti Bariyah, adik kandungnya, ketika meninggal dunia. Anak-anak Siti Bariyah, Siti Antaroh, Ichnaton, dan Fuad, dirawat dan dididik oleh Siti Munjiyah sampai dewasa.

Siti Munjiyah memang tak kenal lelah berjuang di Aisyiyah. Semangatnya yang menyala-nyala dan tekadnya yang kuat telah membawa nama Aisyiyah di pentas nasional. Tetapi, Siti Munjiyah tetap seorang manusia biasa, pada tahun 1955, Siti Munjiyah menghembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang memimpin Aisyiyah. (Sumber : Buku Srikandi-Srikandi ‘Aisyiyah, 2011 (Hajar Nur Setyowati, Mu’arif); aisyiyah.or.id)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini