SPIRIT AL MA’UN : HUMANISME ANTI KAPITALIS DALAM PENGELOLAAN RS MUHAMMADIYAH

0
106

CIREBONMU.COM  —  Puasa sejatinya melatih diri ikut merasakan arti lapar seperti apa yang biasa dirasakan oleh kaum dhuafa. KH. Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah, dengan segenggam motivasi dan obsesi sengaja mengajarkan Surat Al–Ma’un tersebut pada jama’ahnya secara berulang-ulang.

 “Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan Agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan fakir miskin. Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat ria, dan enggan mengulurkan pertolongan/bantuan secara berhasil guna dan berdaya guna” (Q.S. Al Ma’un ayat 1-7).

Lalu jama’ah terkesan bosan, dan mengajukan pertanyaan pada sang Kyai: “kenapa materi pengajian yang kami terima tak pernah ditambah?”.  “Pengajian belum akan berlanjut ke bab lain, sebelum Surat Al-Ma’un dipraktikkan dalam keseharian,” jawab Ahmad Dahlan penuh wibawa.

Baca Juga : Berdirinya ‘Aisyiyah : Organisasi dan Habitus Baru di Indonesia

 Surat Al-Ma’un di atas, secara substansial mengandung beberapa pesan penting. Pertama, orang yang cuek terhadap kaum dhu’afa’, tergolong si pendusta agama. Kedua, ibadah shalat yang berkategori ibadah mahdhah memiliki dimensi sosial. Tak ada faedah shalat, bila tak dibarengi ibadah sosial kategori ghairu mahdhah. Ketiga, melakukan amal shaleh sedikit pun tak boleh ria. Seperti ingin mencari nama atau popularitas, dan sifat–sifat ujub lain yang bisa membuat amal shaleh tidak bermakna. Keempat, ada segelintir manusia yang terjerembab dalam mental attitude egoisme dan egosentrisme (ananiyah) sehingga enggan mengulurkan pertolongan pada kaum dhu’fa’ wa al-mustadh’afin.

Spirit surat Al Ma’un menganjurkan agar umat Islam memperhatikan orang-orang yang terbelakang, tertindas, dan masih di bawah garis kemiskinan. Salah satu bentuk aktualisasi kandungan surat Al Ma’un yaitu dengan mengoptimalkan LAZISMU. Melalui Lazismu, anggota muhammadiyah dan siapa saja bisa mendonasikan hartanya dan nanti akan didistribusikan kepada yang berhak. Selain itu  adalah apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) yang sudah mulai beralih dari sekedar “Response” terhadap bencana (datang, menolong, memberi bantuan) beralih ke “rehabilitasi dan rekonstruksi”. Jadi penanganan bencana tidak hanya sekedar sementara, namun hingga korban kembali mandiri kehidupannya.

Karena di dalam spirit al Ma’un tersebut, terdapat dorongan kepada kaum muslimin untuk menjadi ya’du sufla atau kaum yang senantiasa memberi pertolongan.

Spirit al-Ma’un yang dilakukan Muhammadiyah pada awal berdirinya menjadi pondasi yang kokoh gerakan untuk memberika bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Dari spirit al-Ma’un lahirlah berbagai program kemanusiaan, seperti terbentuknya PKU Muhammadiyah yang memberikan pertolongan kesehatan. Demikian juga spirit al-Ma’un melahirkan berbagai sekolah, panti asuhan, dan lain sebagainya.

Baca Juga : Muhammadiyah Miliki Landasan Kuat Hadapi Tantangan Pluralisme dengan Moderasi Beragama

Pendirian PKU Muhammadiyah pertama kali diprakarsai oleh K.H. Sudjak, yang pada awalnya berupa klinik pada tanggal 15 Februari 1923 yang merupakan fasilitas kesehatan milik pribumi yang pertama sebelum Indonesia merdeka.

Spirit  al Ma’un dalam pengelolaan AUMKes harus pro terhadap kelompok dhuafa’-mustadh’afin, tetapi dalam memberikan pelayanan tetap harus memakai standar prima.

AUMKes  sebagai bagian dari Penolong Kesengsaraan Umum, harus mencerminkan kebersihan, pelayanan ramah, dan indikator-indikator baik lainnya. Bukan karena menolong orang miskin, dhuafa-mustadh’afin lalu gedungnya jelek, pelayanan tidak ramah dan seterusnya.

Jadikan rumah sakit muhammadiyah  yang berkemajuan. Pelayanannya berkemajuan, kebersihannya berkemajuan, senyumnya pun senyum berkemajuan, artinya orang yang datang ke PKU Muhammadiyah ketika sakit separuh sakitnya hilang.

Baca Juga : Misi Islam Rahmatan Lil Alamin Sebagai Pemberi Kabar Gembira Harus Diemban Umat

Tidak bisa dipungkiri bahwa bahwa RS Muhammadiyah disamping mengerjakan jiwa humanisme seperti di atas, juga sebagai bidang bisnis sebagai sumber dana dalam mengembangkan dakwahnya. Maka dibukalah ruang ruang perawatan kelas vip untuk kalangan menengah ke atas. Ranah bisnis dalam pengelolaan RS Muhammadiyah tidak boleh bersikap kapitalis yang merubah dari tujuan muhammadiyah yaitu menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam sehingga terwujud masyarakat islam yang sebenar benarnya.

Sistim kapitalis dipengaruhi oleh semangat mendapatkan keuntungan yang sebesar besarnya dengan membebaskan cara memperolehnya. Tidak peduli adil atau tidak, tidak memperdulikan nilai nilai humanisme. Karyawan yang tidak datang akan dipotong gajinya tanpa melihat penyebabnya karena sakit atau terkena musibah. Orientasi otak kapitalis hanyalah keuntungan finansial dengan mementingkan dirinya sendiri. Pemimpin kapitalis bebas bertindak sepanjang bisa mendatangkan keuntungan. Ia tidak memperdulikan peranan pendahulunya, para seniornya, bahkan organisainyapun dilupakan.

 Muhammadiyah tidak mentolerir pemimpin yang berjiwa kapitalis. Ijtihad bisnis muhammadiyah untuk rahmatan lil alamin. Tidak ada panggung bagi pemimpin amal usaha muhammadiyah yang berjiwa kapitalis. (CM)

Penulis : dr. Maezi (Pimpinan Harian PDM Pemalang)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini